Friday, July 17, 2009

FATWA DAN DINAMIKA SOSIAL

Fatwa dan Sensifitas Sosiologis

Opini Oleh
Mustatho’

Opini dikirim ke Seputar Indonesia, 18 Februari 2008

Belum cukup reda memori umat Islam Indonesia, bagaimana imbas fatwa MUI tentang Jemaah Ahmadiyah sebagai kelompok yang sesat dan menyesatkan telah berakibat pada tindakan anarkhis dan brutal berupa penghancuran markas pusat Jemaah Ahmadiyah di Parung Bogor yang dilakukan oleh umat atas nama Islam. juga tindakan-tindakan yang menjurus pada anarkhisme dalam kasus RUU APP (Anti Pornografi). Dua Fatwa terakhir MUI tentang Fatwa haram merokok dan Golput memungkinkan class social yang lebih parah, di samping ditengarai lebih bernuansa politis juga sebagai akibat dekatnya fatwa ini dengan pemilihan umum 2009 tahun ini.

Yang harus dipetakan dari sini adalah terminologi fatwa dan kaitannya dengan kajian fikih (produk hukum). Memahami fatwa berarti memahami ajaran Islam yang diformulasikan untuk menilai tingklah laku (amalan) dari manusia yang telah mukallaf. Faham ini kemudian menempatkan fatwa sebagai derivasi dari fikih.

Fikih, sebagaimana dimensi ajaran agama Islam lainnya, mengandung aspek-aspek hukum, yang kesemuanya dapat dikembalikan kepada sumber ajaran Islam itu sendiri, yakni Al-Qur’an dan al-Hadith. Dalam menjalankan kehidupan sehari-hari, baik sebagai pribadi, anggota keluarga dan anggota masyarakat, di mana saja di dunia ini, umat Islam menyadari ada aspek-aspek hukum yang mengatur kehidupannya, yang perlu mereka taati dan mereka jalankan. Tentu saja seberapa besar kesadaran itu, akan sangat tergantung kepada kompisi besar-kecilnya komunitas umat Islam, seberapa jauh ajaran Islam diyakini dan diterima oleh individu dan masyarakat, dan sejauh mana pula pengaruh dari pranata sosial dan politik dalam memperhatikan pelaksanaan ajaran-ajaran Islam dan hukum-hukumnya dalam kehidupan masyarakat itu.

Dalam syariah Islam — baik di bidang peribadatan maupun di bidang mu’amalah — Abdul Wahhab Al-Khallaf menyebutkan ada 228 ayat al-Qur’an yang dapat dikategorikan mengandung kaidah-kaidah hukum di bidang mu’amalah, atau sekitar 3 persen dari keseluruhan ayat-ayat al-Qur’an. Rumusan kaidah-kaidah hukum di dalam ayat-ayat ini pada umumnya masih bersifat umum, yang membutuhkan interpretasi dan galian hukum lebih lanjut dengan perangkat ushul dan kaidah fiqhnya.

Baik fikih maupun fatwa kemudian tidak bisa dilepaskan dari konsep istinbathnya, yakni seperangkat kemampuan mengkaji hukum melalui nash-nash yang menjadi sumber utama dengan metodologi yang dianggap absah; yaitu Metodologi ushul dan kaidah-kaidah fiqhnya. Ushul fiqh sebagai disiplin yang mengkaji hukum, bukan hanya mempelajari masalah-masalah hukum dan legitimasi dalam suatu konteks sosial dan institusional tertentu, melainkan juga melihat persoalan hukum sebagai masalah epistemologis. Sementara kaidah-kaidah fiqh secara generik juga dapat dinilai sebagai subtansi materiil dari fiqih itu sendiri. Dari ushul dan kaidah-kaidah fiqh inilah hukum-hukum baru dilandaskan. Termasuk di dalam masalah merokok dan pilihan golput.

Sebagai the queen of Islamic sciences, ushul fiqh dan kaidah fiqih kemudian memegang peranan penting dan strategis dalam melahirkan produk hukum yang rahmatan lil alamin. Wajah kaku dan keras ataupun lembut dan humanis fiqh sangat terkait erat dengan bangunan fiqh dan kaidah yang melahirkannya. Sebagai ‘mesin produksi’ hukum Islam, ushul fiqh dan kaidah fiqh menempati poros dan inti dari ajaran Islam. Rekonstruksi epistemologis ushuli dengan landasan humanis di sini kemudian sangat diperlukan. Contoh praktis adalah kaidah prioritas dalam fiqh ”darkul mafasid muqaddamu ala jalbil masalih” akan menghindarkan seorang mujtahid dari sekedar memburu tujuan, dan lebih mengutamakan terhindarnya kerusakan yang semestinya terjadi.

Rumusan metodologis ushul fiqh juga seharusnya bersifat dinamis dan terbuka terhadap upaya-upaya penyempurnaan. Sifat dinamis dan terbuka terhadap perubahan ini sebagai konsekwensi logis dari tugas ushul fiqh yang harus selalu berusaha menselaraskan problema kemanusiaan yang terus berkembang dengan pesat dan akseleratif. Imam asy-Syafi`i, dengan qaul qadim dan qaul jadidnya menjadi protoype ideal bagaimanakah perubahan zaman selalu berpengaruh pada perubahan hukum. Imam asy-Syafi’i seharusnya diapresiasi oleh generasi ummat Islam berikutnya dengan selalu mengadakan kontekstualisasi ataupun pembaharuan ushul fiqh pada semua arasnya, pembaruan aras epistemologi, dalam aras metodologis, dan pembaruan dalam aras materi atau topik-topik hukumnya.

Sosiologi Produk Hukum

Selain berangkat dari aras metodologis, produk hukum (fiqh) kemudian juga sangat terkait erat dengan tendensi sosiologis dan politik yang melingkupinya, yang timbul sejalan dengan kepentingan masyarakat dan trend sosial yang ada. Bagaimanapun, hukum (fiqh dan derivasinya) adalah mainstream masyarakat saat di mana hukum itu diproduksi.

Fatwa dalam prespektif sosiologis, tidak bisa terlepas dan bebas dari nilai masyarakat. Nilai-nilai inilah yang kemudian apakah bertentangan ataukah sejalan dengan masyarakat bergantung oleh kuasa dominan yang ada. Dalam bahasa Foucoult kuasalah (politik) yang mereproduksi kebenaran.

Dalam kasus dua fatwa MUI tentang fatwa haram merokok dan golput ini, setidaknya asumsi politis yang ada dapat ditinjau ulang ke dalam tiga model keterlibatan antara politik dan hukum. Pertama, hukum yang mungkin lebih determinan atas politik, dalam arti bahwa hukum harus menjadi arah dan pengendali semua kegiatan politik. Kedua, politik bisa lebih determinan atas hukum, dalam arti bahwa dalam kenyataannya baik produk normatif maupun implementasi penegakannya hukum itu sangat dipengaruhi oleh dan menjadi dependent variable atas politik, dan ketiga, politik dan hukum terjalin dalam hubungan yang interdependent atau saling tergantung satu dengan lainnya. Preposisi ketiga ini dalam adigium hukum disebutkan; “politik tanpa hukum menimbulkan kesewenang-wenangan (anarkis), hukum tanpa politik akan menjadi lumpuh. Pertanyaannya adalah, ke arah manakah konsekuensi fatwa ini digiring

Yang menjadi pertanyaan penutup dari artikel ini adalah terkait dengan posisi MUI sendiri. Di manakah posisi organisasi Ulama’ ini?. Organisasi independenkah? ataukah organisasi yang dibiayai dan atas nama saja?. Pertanyaan ini penting, karena menjadi landasan ontologis dan pisau analisis wacana. Analisis frame akan tetap ’mencurigai’ keberpihakan pembawa pesan –baca mesin produksi fatwa- dan mempertanyakan tingkat sterilitas pembawannya. Dalam bahasa filsafat dikenal ”there is power behind teks” selalu ada tendensi atas segalanya. Demikian, Salam.

Mustatho’. * Koordinator MataPena Cendekia
Sekolah Tinggi Agama Islam Sengata (STAIS) Kutai Timur
Telp. 081254447281
Email. tatok.m@gmail.com
Blog. www.mustathok.blogspot.com

Labels:

0 Comments:

Post a Comment

Subscribe to Post Comments [Atom]

<< Home