Friday, July 17, 2009

AGAMA DAN KEPEDULIAN SOSIAL

AGAMA DAN KEPEDULIAN SOSIAL

Opini Oleh
Mustatho’

Dikirim ke Suara Pembaruan, 18/12/08
Momen hari raya Kurban 1429 H telah diperingati dengan gempita oleh hampir semua elemen umat Islam. Dengan datangnya momen kurban ini seakan persoalan umat sedikit terkurangi. Setidaknya momen kurban mampu mengalihkan sedikit frustasi umat di tengah himpitan persoalan hidup. Pertanyaannya adalah, mampukah etos dan nilai kepedulian yang ada dalam perayaan idul Adha ini tetap mengilhami umat Islam untuk senantiasa perduli pada sesamanya?.tidak hanya sekedar aksi sehari tetapi menjadi aksi organic yang senantiasa hidup dikalangan umat Islam?

Sikap hidup manusia beragama tentunya dipengaruhi oleh pandangan hidupnya yang diilhami langsung oleh paham keagamaannya. Mempertanyakan kembali paham dan tafsir norma agama di sini penting karena semua norma terkait erat dengan amalan praksisnya, seperti pewajiban shalat yang tujuan praksisnya adalah pencegahan kemungkaran, dan zakat sebagai bentuk kepedulian sosial. Keterkaitan paham agama dengan sikap hidup manusia, menjadi cerminan bagaimanakah posisi agama yang seharusnya menjadi world construction bagi pemeluknya terimplementasikan sebagai “penyelamat dan pembebas” bagi manusia lain dari ketercekaman dan kesulitan hidup. Bukankah setiap ajaran agama menghendaki setiap pemeluknya untuk menjadi pioneer dalam melakukan kebajikan di dunia ini?.

Di satu sisi memang menolong sesama yang berada dalam kubang kemiskinan dan ketidakadilan adalah wujud penghayatan dan aktualisasi dari keyakinan agama setiap manusia, namun di sisi lain tidak jarang aktualisasi dari penghayatan ini menjadi soal dan justru memenjarakan tujuan muliyanya, bahkan terkadang menjadi beban dan tragedy bagi kemanusiaan yang lainnya. Pemahaman agama yang melulu memihak dan mendasarkan pada aspek normative ketimbang aspek sosiologis mungkin menjadi persoalannya. Bahwa pemahaman masyarakat kita masih terbatas pada usaha menjadi saleh untuk dirinya dan taat beragama secara formal hingga melupakan usaha-usaha aktif pemberdayaan dan kegiatan sosial ekonomi kemasyarakatan secara konstan.

Teologi Kepedulian

Jelas, bahwa kemunculan setiap agama pada awalnya adalah bentuk pembebas dari konteks situasi sosial di mana agama itu lahir. Sebagaimana agama Kristen hadir untuk menjadi pembebas bagi kondisi materialisme masyarakat yang menggila, maupun Islam yang hadir menawarkan pembebasan bagi ketidakadilan masyarakat, kebobrokan moral dan despotisme yang nyata menggerogoti bangunan kemanusiaan yang ada saat itu.

Semangat awal Islam yang memerintahkan umatnya untuk menegakkan keadilan, memberantas kemiskinan dan menghapus ketidaksetaraan menjadi sia-sia manakala umatnya kini menganggapnya sebagai hal yang normatif, terlebih menilainya sebagai hal yang kodrati. Pewujudan keadilan dianggapnya sebagai sutau yang abstrak dan menggantung di langit ide teologis semata.


Agama, yang seharusnya menjadi titik pijak yang cukup penting dalam keterlibatannya mewujudkan masyarakat adil, sejahtera dan setara, harus dikembalikan pada tujuan awal penurunannya. Hal ini menjadi penting di saat Negara, yang seharusnya berperan lebih terhadap masyarakatnya ternyata tidak mampu memerankan peranan pembangunan dan mengantarkan transformasi sosial ekonomi masyarakat yang terjerat kemiskinan. Cukup tragis memang, di Negara Indonesia yang terkenal sebagai lumbung beras ini, kemiskinan tergambar begitu menganga, nasi aki menjadi menu utama, nasi sampah menjadi biasa, tak mengherankan kemudian penjual-belian daging limbah menjadi pilihan.

Peran ideal agama sebagai pembebas dan perubah kondisi sosial semakin diharapkan ke depan. Peran inilah yang akan menghantarkan dan membentuk masyarakat muliya dan beradab (masyarakat madani). Namun demikian, mungkinkah hal ini bisa terwujud di tengah kondisi paham masyarakat yang masih berkutat pada paham formal agama? Menghayati dan mengamalkan agama sebatas ajaran fikih, bertindak berdasarkan nilai etik wajib-haram, pahala-dosa belaka?.

Paham agama dengan etika fikih akan sangat kesulitan menghadapi persoalan hidup dan keumatan. Paham etika fikih akan melahirkan kekakuan pelaksanaan agama, alih-alih menjadi pembebas, paham ini seringnya justru menjadi pemicu keterbelengguan. Dari pemikiran dan paham agama seperti ini sangat jauh diharapkan munculnya keprihatinan sosial yang sesungguhnya, yakni keprihatinan yang bisa melahirkan kesadaran untuk dengan ikhlas mengantarkan transformasi kehidupan masyarakat lapis bawah, mengentaskan kemiskinan dan menegakkan keadilan.

Suatu pembaruan sosial, lebih-lebih perubahan sosial, dari sudut agama baru betul-betul konkrit jika memang didasari oleh ajaran agama itu sendiri. Usaha merubah masyarakat tidak akan berarti tanpa adanya perubahan pemahaman agama di tingkatan praksis. Dalam hal ini, usaha perubahan pemahaman agama setidaknya harus dilandasi pada dua kesadaran awal:

Pertama, kesadaran baru tentang sisi historis kelahiran agama, bahwa sebuah agama muncul untuk merespons penderitaan dan kesengsaraan yang mencekam kehidupan umat manusia akibat penindasan dan eksploitasi yang dilakukan komunitas sosial maupun individu yang dominan. Agama dalam makna esensial ini lahir sebagai bentuk keprihatinan atas realitas sosial yang timpang. Untuk itu, kehadiran agama merupakan upaya kritik dan pembelaan atas upaya-upaya dehumanisasi, penistaan terhadap harkat dan nilai-nilai kemanusiaan.

Kedua, dari sisi doktrinal-normatif agama, teks-teks suci agama yang bersifat normatif sangat perlu dipahami secara utuh, sehingga nilai-nilai substansial agama dapat ditangkap secara keseluruhan. Dalam ayat-ayat Al-Qur’an, dapat ditemukan penjelasan bahwa agama mengandaikan keseimbangan antara dua kepentingan, Tuhan dan manusia. Bahkan problem kemanusiaan terkadang lebih penting untuk dikedepankan. Dalam surat al-Ma’un (107) misalnya ditegaskan bahwa para pendusta agama adalah mereka-mereka yang hanya menikmati sembahyang (juga ritual-ritual formal lainnya), tapi lupa akan nasib orang-orang yang tereliminasi dan menderita secara sosial-ekonomi.


Tanpa mengadakan pembaruan pemikiran dan pemahaman keagamaan dan etos kepedulian sosial yang tidak mengacu kepada misi utama Islam sebagai pembebas dan penyelamat, akan sangat sulit mendapati Islam berperan dalam perkembangan masyarakat dewasa ini, utamanya dalam menghadapi tantangan global.

Karena itu, pembaruan pemikiran dan pemahaman keagamaan kiranya masih perlu diusahakan terus menerus agar agama Islam dapat mengulang kembali peranannya sebagai pembela kaum miskin, menciptakan masyarakat yang adil dan sejahtera. Etika pembebasan inilah yang dahulu pernah diwujudkan oleh Nabi dan para sahabatnya, dan sudah saatnyalah kaum muslim Indonesia meneruskan warisan luhur ini, yakni melakukan transformasi umat secara menyeluruh terutama lapis sosial bawah yang selama menjadi korban ketidakadilan.

Mustatho, Dosen Sekolah Tinggi Agama Islam Sangatta Kutai Timur, Kal-Tim.
Alamat: Jl. APT Pranoto, Sengata Utara Kutai Timur .
Hp. 0815 7878 5376
Blog. http//.mustathok.blogspot.com
Email. tatok.m@gmail.com

Labels:

1 Comments:

Blogger Unknown said...

makasih.. ilmunya

October 31, 2013 at 6:50 PM  

Post a Comment

Subscribe to Post Comments [Atom]

<< Home