Friday, July 17, 2009

TRANSFORMASI MAKNA MABRUR

TRANSFORMASI MAKNA MABRUR
Opini Oleh
Mustatho’

Opini dikirim ke Koran Tempo, 11/12/08

Dari tahun ke tahun, jumlah jamaah Haji Indonesia semakin mengalami kenaikan pesat. Tahun ini, pada musim haji 2008, Pemerintah Indonesia memberangkatkan takurang 207 juta jamaah. Seabrek pengalaman pahit penyelenggaraan haji tahun 2007, seperti kelaparan di Mina, banyaknya jamaah haji yang tak mendapatkan penginapan di Mekah, dan berbagai kesulitan haji lainnya, pada tahun ini tidak bisa dikatakan akan tidak terulang kembali. Pertanyaanya adalah apa sebenarnya sumber masalah dalam pelaksanaan ibadah haji kita?, mengapa dari tahun pelaksanaan ke tahun yang lain tidak pernah bisa teratasi?. Tentu jawabnya sangat kompleks, satu yang paling fundamental adalah teologi haji yang endemic dalam jamaah kita.

Meskipun ibadah haji merupakan ibadah yang bertendensi teologis, namun persoalan haji adalah persoalan kemanusiaan. Asumsi teologis yang menempatkan perolehan pahala dan fadhilah haji sesuai dengan kesusahan yang didapat, tidak bisa dibenarkan. Alih-alih menjadikannya mambur, asumsi keikhlasan seraya mengharap pahala dari kesalahan penyelenggaran haji equivalen dengan memelihara kedhaliman yang bakal terus berulang. Dalam al-Qur’an disebutkan, “Hai orang-orang yang beriman bertakwalah kepada Allah dan hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok.., (al-Hasyr, 59:18)

Asumsi teologis yang menjadi akar tunggang persoalan haji ini seharusnya dibongkar dari sekarang. Kasus seorang jamaah haji yang ikut kelaparan di Mina pada musim haji 2007, ketika diwawancarai sebuah televisi swasta, menjadi kecemasan kita bersama. Dengan tegas dia mengatakan bahwa kejadian itu adalah sebuah ujian dari Allah dan karenanya dia tak mau menuntut atau menggalang class action kepada Departemen Agama. Baginya, yang sudah terjadi di Tanah Suci tak perlu diungkit-ungkit karena hal itu bisa membatalkan pahala haji seseorang.

Pembongkaran asumsi teologis haji ini dapat dibandingkan dengan proyek perluasan dua kota suci (haramain) yang telah dilakukan mendiang Raja Fahd, seperti perluasan batas geografi Arafah dan Mina, perluasan Safa-Marwah, pengaturan penyembelihan hewan kurban, dan yang paling mutakhir, memperbesar ukuran “setan” Jamarat dari hanya tiang kecil menjadi tembok berukuran lebar tujuh meter.

Dengan kaedah maslahah sebagai alat bongkarnya, teologi ibadah hajipun harus tetap mengutamakan lima sendi tujuan hukum Islam (asas al-khamsah), yakni menjaga harta, martabat, jiwa, keturunan dan agama, hingga pelaksanaan ibadah haji oleh pemerintah benar-benar dapat dipertanggungjawabkan, dan para jamaah haji dapat menunaikan ibadahnya dengan sempurna. Tentunya, inilah yang diharapkan semua keluarga, kerabat dan handai taolan melihat para jamaah haji pulang dengan selamat, sehat, dan menyandang predikat “haji mabrur”.

Haji yang Tercerahkan

Sedikitnya ciri seorang yang meraih “haji mabrur”, adalah cerminan bagi calon jamaah lainnya. Predikat haji mambrur adalah proses yang tiada henti, mulai dari mempersiapkan bekal materi, dan ditunjang dengan bekal spiritual, sebagaimana dalam firman Allah, “Berbekallah, dan sesungguhnya sebaik-baik bekal adalah takwa”, sampai dengan keikhlasan berhaji semata-mata karena Allah dan bukan untuk membanggakan diri supaya nanti dipanggil dengan “predikat haji” di depan namanya.

Di sisi lain, haji mabrur adalah keterpenuhan dua aspek ibadah, yakni aspek sosial (habl min al-nas), dan aspek vertikal (habl min Allah). Karena itu, Islam sangat melarang pemeluknya melaksanakan berkali-kali haji ke Makkah, sementara tetangga di sekitarnya banyak yang menderita dan hidup dalam kelaparan. Islam juga melarang hambanya hanya sekedar mementingkan urusan ibadah, terlebih dengan tujuan rekreatif.

Haji mabrur adalah “ritual” yang menjadikan pelakunya lebih baik atau dalam bahasa Ali Syari'ati menjadi manusia tercerahkan. Adapun manusia yang tercerahkan, menurutnya adalah manusia yang bisa mensinergikan nilai keimanan pada Tuhan dengan tidak melupakan perhatian kemanusian. Al-Qur’an menyebutnya sebagai keseimbangan berpikir, antara nilai dunia dan nilai akhirat, al-Qashas, 28: 77 “Dan carilah pada apa yang dianugerahkan kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat dan janganlah kamu melupakan bagianmu dari (kenikmatan) dunia..”.

Tak disangkal memang, semua jenis ibadah (mahdah), termasuk ibadah haji, titik tekannya adalah aspek vertikal (habl min Allah), tapi bukan berarti lepas dari aspeks kemanusiaan (habl min al-nas). Karena, tanpa dibarengi aspek terakhir tersebut tentunya ibadah haji yang ditunaikan dengan susah payah bisa saja tidak diterima oleh Allah. Inilah yang diserukan oleh Islam sebagai perolehan dari Ibadah haji, yakni dengan menjadikan haji sebagai rahmat yang bersifat totalitas dan menyeluruh, dari dunia sampai akhirat. Menjadi rahmat dalam akidah dan hukum, dalam akhlak umum dan kehidupan keluarga, dalam masyarakat dan bangsa.

Dari sinilah mengapa dalam Islam, ibadah haji yang diwajibkan hanyalah sekali yang disebut dengan Hajjatul Islam (Ibadah haji yang wajib sekali seumur hidup). Maka, sepertinya tepat hadits Nabi dari Ibnu Mas’ud r.a yang menyebutkan “Di akhir jaman akan banyak orang pergi haji tanpa sebab tertentu“. Tanpa diperintah oleh agama, puluhan juta rupiah berpotensi tidak menghasilkan pahala apa-apa!

Memang tidak berarti semua yang melakukan ibadah haji lebih dari sekali, tidak akan mendapatkan pahala. Hanya Allah SWT yang berhak memberikan penilaian. Namun, dengan hadits di atas kita sudah diberikan rambu2 yang membuat kita bisa melihat dengan lebih jelas bahwa haji dan atau umrah yang tidak memberikan pahala adalah haji yang tidak ada tujuan, yang hanya bertujuan mencari kesejukan dan kenangan spiritual, yang hanya mencari kebanggaan dan pujian, yang hanya mencari tempat yang katanya dengan menangis di sana terasa lebih nikmat, yang hanya mencari tempat pelarian dari rasa bersalah atas keberangkatannya ketanah suci yang berasal dari hasil korupsi, yang mencari obat dari kegersangan hatia, dan bukan dengan tujuan mencari ridha Allah SWT.

Dalam sebuah hadits, Nabi menjelaskan indikasi haji mabrur; yakni thibul kalam (baik perkataannya), ith'amu al-tha'am (memberi makan) dan yang terakhir adalah ifsyau al-salam (menyebarkan kedamaian). Jadi, haji mabrur adalah transformasi akhlak (budi pekerti luhur) dan amal shaleh secara sosial. Dari kepedulian diri untuk memupuk spiritual pribadi menuju kepedulian sesama. Karena menjaga hubungan baik dengan sesama manusia --dalam ajaran Islam-- sama pentingnya menjaga hubungan baik dengan Tuhan. Setiap muslim harus seimbang menjaga keduanya agar tetap terpelihara. Al-Quran mengancam kaum muslim dengan siksa api neraka yang sangat pedih bila hanya menjaga hubungan baik dengan Tuhan, sedang hubungan baik dengan sesama manusia terlupakan (QS Al-Ma'un [107]:4-5).

Bisa dipahami kemudian jika setiap perintah ibadah vertikal selalu diikuti dengan seruan ibadah horisontal, seperti perintah shalat yang diikuti dengan perintah beramal, perintah puasa diikuti dengan perintah zakat fitrah yang merepresentasikan aspek sosial. Dari aspeks itu, maka Nabi bersabda, bahwa di antara ciri-ciri orang yang mendapat “haji mabrur” adalah ketaatan ibadahnya bertambah, tidak keluar dari mulutnya ungkapan tak baik dan empati sosial pada sesama semakin baik, termasuk dalam hal menyantuni anak yatim dan orang-orang yang tidak mampu. Jika seseorang melaksanakan hal itu, berarti sudah mendapatkan haji mabrur.

Mustatho’,Koordinator MataPena Cendekia
Sekolah Tinggi Agama Islam Sengata (STAIS) Kutai Timur
Hp. 0815 7878 5376
Blog. http//.mustathok.blogspot.com
Email. tatok.m@gmail.com

Labels:

0 Comments:

Post a Comment

Subscribe to Post Comments [Atom]

<< Home