Sunday, August 23, 2009

Memburu Takwa di Bulan Suci Ramadhan

Oleh : Mustatho' | 23-Aug-2009, 13:49:23 WIB

Bulan Ramadhan 1430 H telah datang. Dapat dipastikan semua orang muslim di seluruh dunia berlomba-lomba untuk menyambut dan melaksanakannya. Di Indonesia sendiri, umat Islam padat agenda. Masjid, Mushola, majlis ta’lim dan tempat-tempat ibadah seluruhnya ramai dengan ritual peribadatan. Ibadah Ramadhan semakin menjadi semarak dengan banyaknya paket-paket ibadah dan kajian keislaman yang ditawarkan dan diliput live oleh media TV. Bulan Ramadhan sebagai syahrun mubarak (bulan yang penuh berkah), yang di dalamnya tersimpan keistimewaan yaum rahmah (bulan kasih), ampunan (yaum maghfirah), dan sekaligus kesempatan menjauh dari api neraka (itqun min al-nar) menjadi medan magnetic umat Islam untuk menggapainya.

Kegairahan (ghirah) ibadah ini tentunya menjadi indicator yang baik bagi keberagamaan di Indonesia yang akhir-akhir ini sedang diuji dengan stigma kekerasan dan terror atas nama agama. Pertanyaannya, seberapa efektif kegairahan ibadah di bulan Ramadhan ini mampu mensingkirkan pandangan nyinyir terhadap agama? Sekaligus mampu memperbaiki kualitas internal keagamaan muslimin di Indonesia? Membentuk pribadi saleh, saleh personal sekaligus sosial, tidak hanya pada momen bulan Ramadhan, tetapi sekaligus menciptakan dan melahirkan pribadi dan masyarakat muslim baru, masyarakat tamadun (berperadaban –istilah Nurcholis madjid) yang berlandaskan pada nilai ketakwaan (muttaqin).


Takwa Subtantif

Tidak dapat disalahkan memang, pandangan skeptis terhadap tercapainya tujuan puasa (muttaqin) ini. Terlebih melihat fenomena instan yang terjadi hampir di setiap bulan suci Ramadhan ini. Fenomena sosial yang terjadi setiap bulan puasa menjadi bukti empiris yang cukup kuat. Banyak perilaku orang yang berubah secepat kilat dan sangat berbeda dengan perilaku kesehariannya. Ramadhan bagai semisal magic yang mampu mengubah apapun hanya dengan mantra ‘abra-gedabra’. Hingga orang kemudian hanya peduli pada ritus-ritus sacral hanya dengan mengakrabi bulan puasa dan meningkatkan kesalehan personal tanpa mengerti subtansi ibadahnya.

Kualifikasi takwa digambarkan dalam al-Qur’an 2:3 adalah “orang yang beriman dan percaya pada yang gaib, mendirikan shalat dan menafkahkan sebagian rizki yang diberikan oleh Allah kepadanya”. Konsepsi Triadic antara kepecayaan pada yang gaib, internalisasi dalam diri dengan shalat dan sekaligus ekternalisasinya (praksis dari takwa) yakni dengan beramal baik kepada sesama.

Maqam takwa sendiri adalah sebuah perolehan simultan yang terus menjadi dan berproses secara berkesinambungan. Secara psikologis hal ini dapat digambarkan dengan hukum psikologi J. Peaget (Psikologi conditioning) bahwa jika seorang manusia sekali saja melakukan kejahatan, maka kesempatan untuk mengulangi perbuatan yang serupa semakin bertambah, sementara untuk melakukan perbuatan yang berlawanan semakin berkurang. Begitu juga sebaliknya dengan melakukan perbuatan yang baik selama Ramadhan dan konsisten setelahnya, maka dapat dipastikan seorang yang beriman hampir saja tidak bisa melakukan hal yang berlawanan; bahkan untuk sekedar memikirkannya sekalipun.

Logika inilah yang secara psikologis ada di balik pola pemberdayaan puasa. Bahwa “tujuan puasa adalah membentuk pribadi yang bertakwa”. Kepada makna inilah idealnya dikembalikan semua prosesi ritual ibadah puasa Ramadhan kita, hingga tujuan puasa (muttaqin) bukanlah konsep yang kabur dan sulit untuk diraih.


Takwa Praksis

Puasa merupakan ibadah paling tua dalam peradaban umat manusia. Demikian juga bagi umat Islam, puasa menjadi ibadah paling istimewa di antara ibadah yang lain. Puasa dalam Islam merupakan momentum aktualisasi nilai-nilai saleh dan kesempatan berbuat yang terbaik (ahsan al-amal) tanpa memandang pamrih dan menghendaki publisitas.

Sebagaimana disebut dalam hadis qudsi “puasa adalah untuk-Ku (Allah) semata, dan Akulah yang menanggung pahalanya”. Kerahasiaan puasa di sini merupakan nilai plus yang tidak ditemukan dalam ibadah lainnya. Hadis ini sekaligus bermakna bahwa muatan puasa secara subtantif hanya mempunyai dua tendensi, yakni kesadaran transcendensi dan internalisasinya. Internalisasi moral transcendental (Allah) pada pribadi manusia.

Dalam konsepsi teologis, nilai transcendental inilah yang menurut Fazlurrahman dalam Major Themes of the Qur'an, (1980) menempati puncak pyramid tertinggi dalam peribadatan dan kepercayaan kepada Tuhan. Al-Quran menerangkan bahwa mereka yang beriman dan bertakwa “adalah mereka yang mengimani kepada hal-hal yang gaib” (2:3). Percaya pada hal yang gaib dan menginternalisasikannya ke dalam diri inilah yang mampu menjaga seorang yang beriman tetap pada posisi takwanya untuk kemudian memunculkan spirit keagamaan secara langsung yang mampu memberikan pengaruh perilaku hidup secara nyata.

Sekali lagi dengan konsep internalisasi gaiblah yang hanya mampu mensterilisasi niatan aksi dari perbuatan baik di bulan Ramadhan kita. Siapa yang perduli dengan hinaan terlebih sanjungan, ketika tujuan ibadah seorang muslim melebihi hal-hal fisik dan inderawi?

Bulan suci Ramadhan menjadi tonggak amalan sirri bagi orang-orang yang melaksanakanya. Ajaran agama yang telah merasuk, mengendap dan kemudian dimanifestasikan dalam kehidupan sehari-hari, merupakan pemahaman yang bisa dianggap paling mendekati sempurna. Takwa adalah hasil dari olah internalisasi nilai transcendental ilahiyah yang diperoleh dari filosofi sirri puasa. Pemahaman seperti inilah yang mampu membentuk moralitas agama yang berkomitmen pada tindakan nyata dengan amal saleh, peduli pada sesama tanpa mengenal orientasi nilai untung-rugi. Dengan kepedulian dan aksi nyata inilah Islam membedakan umatnya. Di dalam al-Qur’an disebutkan “mereka yang tidak mempunyai kepedulian terhadap agama sebagai orang yang mendustakan agama” (al-ma’un;1-3).

Dengan argument serupa Asghar Ali Enginner dalam Islam and Its Relevance to Our Age (1993) menyatakan bahwa “orang ‘kafir’ bukanlah mereka yang berada di luar dan menentang agama Islam, tetapi mereka yang tidak memperhatikan tetangganya yang sedang kelaparan”. Ke arah aksi dan praktis sosial seperti inilah hasil dari puasa kita semestinya, yakni kepedulian sekaligus tindakan nyata untuk menolong sesama. Wa Allahu a’lam. (*)

Mustatho’, Dosen Sekolah Tinggi Agama Islam Sengata (STAIS) Kutai Timur

Labels:

Saturday, August 8, 2009

POLITIK DAN AGAMA

MITOS POLITIK ISLAM
Menguak Narasi Budaya Kuasa dalam Islam
Mustatho’*

Konsep kepemimpinan Meritokrasi adalah konsep kepemimpinan yang didasarkan pada rekam-jejak, keahlian dan kecakapan, integritas, dan moralitas seseorang; terlepas dari mana ia berasal. Artinya semua orang atau warga negara mempunyai hak mengejar kekuasaan dan menjadi pemimpin tidak atas dasar penilaian ras, etnik, suku, agama maupun anggapan keunggulan asal-usul keturunan di atas yang lain, tetapi didasarkann atas pertimbangan kemampuan dan kualitas pribadi yang handal (political credentials) yang bisa menjadi inisiator yang efektif untuk mengatur dan mensejahterakan segenap bangsa, dan didukungan dengan pemikiran visioner dalam mengemban tugas-tugas politik pemerintahan dan menunaikan amanat dalam mengelola urusan kenegaraan.

Mempertimbangkan asal usul sebagai factor penentu kapasitas seseorang sama dengan mengingkari kehendak alam keterciptaan manusia. Tentunya setiap orang mempunyai asal-usul berbeda, dan hal ini bukan karena pilihan, melainkan merupakan takdir hidup. Seseorang manusia terlahir di dunia ini tidak dengan kebebasan memilih di mana ia dilahirkan dan melalui rahim siapa. Ia terlahir begitu saja mengikuti ketentuan yang telah digariskan padanya.

Moralitas politik mengajarkan, seorang pemimpin adalah mereka yang dapat mengemban amanat rakyat, memikul tanggung jawab politik, mampu menjawab segala rupa tantangan: domestik dan internasional, serta mampu mewujudkan kemakmuran dan kesejahteraan bagi seluruh rakyatnya.

Sebaliknya, mengindahkan pertimbangan moral dan prinsip meritokrasi, pada kasus kekuasaan di Indonesia misalnya, banyak kalangan elit kuasa Jawa terus menerus mereproduksi mitos kuasanya dengan berdasar pada ramalan Joyoboyo, bahwa kekuasaan di Indonesia adalah turunan dan untuk etnis Jawa. Konsepsi ini di ambil dari konsep notonogoronya Joyoboyo yang berarti Sang Penata Negara yang kemudian dirasionalisasi dengan dua nama pemimpin yang pernah berkuasa di Indonesia, Soekarno (no) dan Soeharto (to).

Para ahli antropologi menyebut mitos politik ini sebagai cultural narrative, untuk menjustifikasi kebermaknaan dan signifikansi sebuah kelompok etnik di pentas perpolitikan nasional. Chiara Bottici dalam The Anthropology of Political Myth (2007) menulis, ''Human beings need meaning and significance in order to master the world they live in, and political myths are cultural narratives through which human societies orient themselves, and act and feel about their political world''.

Mitos politik inilah yang oleh elit tertentu dijadikan basis legitimasi untuk mengukuhkan dominasi suatu kelompok etnik dalam praktik perpolitikan. Konsekuensi mitos ini kemudian memasung kesadaran dan menumpulkan rasionalitas politik bagi masyarakat. Dalam perspektif demikian, mitos politik merupakan bagian dari narasi budaya untuk melanggengkan dominasi politik suku tertentu di pentas kenegaraan dan menempatkan suku-suku lain pada posisi subordinat belaka.

Bagaimana dengan Islam?.faktanya, pergolakan politik dan kuasa dalam Islam lekat dengan mitos politik dan narasi budaya kuasa serupa. Alih-alih menciptakan konsep kuasa dan kepemimpinan ideal, kepemimpinan pasca nabi menjadi pelanggengan politik bagi suku Quraisy. Bahkan ditopang dengan perangkat budaya dan agama. Lihatlah ketika Abu Bakar mengintrodusir kriteria pemimpin, Umar dengan team formatur yang semuanya dari suku Qurays. Dan sejarah pembukuan al-Qur’an yang kemudian diformalkan hanya dengan bacaan Qurays. Negara madinah lebih tergambar sebagai Negara Qurays dari pada Negara umat Islam. Bukankah meritokrasi Islam mengajarkan “sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu adalah orang yang paling bertakwa”.

Bagaimana dengan system politik khilafah?. Lebih-lebih khilafah, setali tiga uang dengannya. Di samping system khilafah adalah konsepsi yang belakangan hadir sepeninggal nabi, “pendirian kembali khilafah adalah sebuah ilusi”, kata seorang teman dari Mesir dengan bersemangatnya, setelah semalaman ia menghabiskan bacaan sebuah buku “Ilusi Negara Islam”. Wa Allahu a’lamu.

*Koordinator1 MPC (matapena Cendekia) Sengata
Telp. 081254447281 email tatok.m@gmail.com blog www.mustathok.blogspot.com

Labels:

Thursday, August 6, 2009

MENULIS DAN MEMBUAT SEJARAH

MENULIS DAN MEMBUAT SEJARAH

Mustatho’


Bagi R.A. Kartini “Menulis adalah proses bekerja untuk keabadian (verbal valent scripta manent)”, R.A. Kartini dalam surat-surat kepada kawan-kawannya. Bagi Ignas Kleden (2001), “Penulis adalah juru bicara zamannya”. Sementara bagi Jimly Asshiddiqie (2005), ia menulis adalah karena ingin menatap jejak pemikirannya di hadapan spasio-temporal ruang, tempat dan waktu.

Sejarah itu: “Jas Merah”, jangan sekali-kali melupakan sejarah!. orang mengenal adagium ini berasal dan dinyatakan oleh Ir. Soekarno –pemilik Negara Indonesia sebelum orde Baru. Juga sebuah tembang dari foklor jawa mengungkapkan Cikar dowo tipeti, tales ombo godonge. Dalam budaya Sunda, pentingnya arti sejarah (sebagai peristiwa) biasa dijadikan sebagai nasehat : "Kudu ngeunteung ka nu enggeus, nyonto ka nu bareto, diajar tina pangalaman, pikeun nyanghareupan kiwari jeung nyawang nu bakal datang".

Reiza D. Dienaputra dalam artikel Membuat Bangsa Ini Melek Sejarah (Harian Pikiran Rakyat, Jumat 27 Februari 2009) secara distingtif membagi sejarah ke dalam dua pola utama. Pertama, sejarah dalam arti objektif atau sebagai peristiwa itu sendiri dan kedua sejarah dalam arti subjektif atau rekonstruksi dari sebuah satu kisah.
Sejarah dengan arti yang pertama adalah nilai objektif dari peristiwa sejarah itu sendiri. Artinya kondisi sejarah yang hanya dialami, dirasa dan diketahui oleh pelaku sejarah pada saat peristiwa itu terjadi. Konstruk kedua adalah sejarah sebagai satu hasil rekonstruksi atas peristiwa yang telah atau pernah terjadi.

Dari segi metode, tulisan sejarah terbagi atas dua kategori. Pertama, tulisan sejarah ilmiah; kedua, tulisan sejarah populer, termasuk semi-ilmiah populer. Penulisan sejarah ilmiah adalah penulisan sejarah dengan prasyarat ketat yang ditempuh melalui pencarian dan pengumpulan sumber (heuristik), seleksi sumber (kritik intern dan ekstern), pengolahan data dan seleksi fakta hasil interpretasi, sampai dengan proses penulisan (historiografi), serta dilakukan berdasarkan kaidah-kaidah metode sejarah.

Tulisan sejarah ilmiah memiliki ciri-ciri keilmiahan yang antara lain ditunjukkan oleh sistematika uraian (kronologis-diakronis); sifat uraian deskriptif-analisis; menunjukkan aspek kausalitas (sebab-akibat) sebagai "hukum sejarah", sehingga diperoleh kejelasan (eksplanasi) sebagai jawaban atas pertanyaan mengapa. Mengapa peristiwa atau masalah itu terjadi? Apabila kegiatan dalam proses penulisan sejarah ilmiah hanya dilakukan sebagian, sehingga tulisan sejarah yang dihasilkan hanya memiliki sebagian dari ciri-ciri sejarah ilmiah, maka tulisan itu termasuk ke dalam kategori semi-ilmiah populer.

Sementara penulisan sejarah populer umumnya dilakukan dengan tanpa/ kurang memperhatikan kaidah-kaidah metode sejarah. Dalam penulisan sejarah populer, biasanya kritik sumber dan seleksi data/fakta tidak dilakukan. Kalaupun dilakukan, tidak sepenuhnya berdasarkan kaidah metode sejarah. Demikian pula dalam proses penulisannya, penulisan sejarah populer umumnya tidak memperhatikan ciri-ciri tulisan sejarah ilmiah atau ciri-ciri sejarah sebagai ilmu.

Kuntowijoyo dalam Pengantar Ilmu Sejarah (1995), menekankan pentingnya imajinasi dalam penelitian dan penulisan sejarah. Menurut dia, dalam menjalankan pekerjaannya, sejarawan harus dapat mem-bayangkan apa yang (terjadi) sebelumnya; apa yang sedang terjadi, dan apa yang terjadi sesudah itu. Ia memberi contoh, “Misalnya ia akan menulis priyayi awal abad ke-20. Ia harus punya gambaran, mungkin priyayi itu anak-cucu kaum bangsawan atau raja yang turun statusnya karena sebab-sebab alamiah atau politis. Demikian juga sejarawan harus dapat membayangkan betapa bangga istrinya bila pria priyayi itu dapat menggaet penari tayub”.

Baik Soekarno, Kuntowijoyo maupun Reiza D. Dienaputra yang banyak berbicara sejarah di atas, ada satu kesepakatan umum yang dapat ditarik, yakni peran vital sumber sejarah sebagai media rekonstruksi (penulisan) sejarah itu sendiri, yang salah satunya adalah tulisan. Tak pelak tulisan inilah yang dapat menggiring seorang sejarawan ke dalam bingkai objektif sejarah itu sendiri. Selamat berkreasi dan membuat sejarah diri!!!!salam MataPena Cendekia.

Labels: