Thursday, July 23, 2009

ILMU DAN AGAMA

MENJEMBATANI AGAMA SEBAGAI ILMU
Opini
Mustatho*
Dimuat di Koran Jakarta, Jumat 30 Mei 2008

Banyak kalangan apriori terhadap agama, bahwa agama adalah unobservable, anti kritik dan menghambat kemajuan.Agama dikatakan sangat subjektif, tidak objektif dan tidak ilmiah. hingga kemudian muncullah pengucilan agama.Agama hanya ditempatkan sebagai dogma dan ortodoksi belaka.Agama kemudian dibedakan dengan dan dari jenis ilmu pengetahuan lainnya yang dinyana tampak objektif dan ilmiah. pertanyaannya kemudian adalah siapa yang bisa menjamin ilmu-ilmu sosial-sains sebagai ilmu objektif? yang bebas dari unsur subjektif? walaupun banyak kalangan ilmuan dan saintifik mengkalim dan meyakini demikian, namun demikian banyak di antara mereka hanya mampu berkelit bahwa objektifitas pengetahuan dan sains yang diyakini adalah objektif-kategoris yang dikehendaki oleh dunia ilmiah saat ini.

Jawaban di atas semakin mengkaburkan permasalahan dan memancing pertanyaan serupa, kategori ilmiah saat ini, siapa yang membangunnya? atas dasar episteme apa atribusi ilmiah ini tersemat? tentu jawabannya adalah tetap, antara objektif dan ilmiah adalah semata dari subjektifitas manusia. Manusialah yang menempatkan sesuatu sebagai objektif-ilmiah dan oleh subjektifitas manusiapulalah konsepsi ini dibenarkan (apriori). Hal urgent kedua adalah mempertanyakan fungsi dan tujuan ilmu pengetahuan. sebenarnya kemanakah tujuan ilmu pengetahuan-sains ini di arahkan? apakah ada ilmu tujuan yang benar-benar murni tanpa tendensi? bukankah kemurnian ilmu pengetahuan justru mencerabut kebaradaan ilmu pengetahuan dan peran vitalnya pada manusia sebagai penemu dan penciptanya dan sekaligus tujuannya?. Dengan kata lain perdebatan objektif-ilmiah dan pembedaan antara agama dan ilmu lain dapat ditekan karena dapat dikatakan bahwa segala ilmu baik sains ataupun ilmu agama adalah untuk manusia. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa antara Agama sebagai ilmu dan ilmu-ilmu humaniora lain mempunyai titik pijak sama, yakni sama dalam asal, tujuan dan dalam keberadaannya, keduanya memiliki landasan sama (subjektifitas manusia). Lalu kenapa ada pembedaan dan pembidangan antara sains sebagai ilmu dan anggapan bahwa agama di luar sistem ilmu manusia?.

Sebenarnya kecerabutan Agama dari ilmu lainnya -terutama sains, adalah kecelakaan sejarah yang tanpa proses validitas diterima begitu saja. Renaissance Eropa memulai memisahkan antara sains di satu sisi sebagai ilmu dan agama sebagai dogma di sisi lain. Dalam sejarah pemisahan inilah yang perlu kita teliti, apakah pemisihan agama memang atas dasar unsur agama yang dimiliki agama Kristen saat itu ataukah hanya pada peran gereja yang semakin dominan dalam penentuan keilmuan saat itu. Sejarah pada dirinya tidak dapat menjadi alat validasi otonom tanpa seperangkat kejadian dan alasan di baliknya (yang menjadi penyebab).

Benar bahwa agama adalah urusan subjektif. Namun tidak berarti bahwa agama tidak bisa diteliti dan dipelajari sama sekali. Layaknya Ilmu pengetahuan lain, agama pada dasarnya juga mempunyai seperangkat alat, metodologi dan sistem yang dapat dipersamakan dengan ilmu pengetahuan. Kalau dalam ilmu pengetahuan mengenal metodologi maka agama memiliki titus sebagai sarana pendekatan, dogma sebagai aksioma dan bentuk ekstrim mitos sebagai ideology dalam pengetahuan.

Agama Sebagai Ilmu

Dalam menjembatani agama sebagai ilmu, sekali lagi harus memperhitungkan seperangkat pengetahuan dan mental siap menerima dan membuang pra anggap bahwa agama adalah urusan ketuhanan belaka. Landasan Agama sebagai ilmu adalah keterpemenuhanan perangkat di dalamnya. Sebagai ilmu agama telah memprakarsai penemuan dan pembenaran metode empirisisme, objektifitas dan relativisme. Perangkat agama sebagai ilmu itu adalah:

Pertama, pengalaman agama dalam kategori sains adalah pengalaman yang mampu diterangkan. Immanual Kant menyebutnya sebagai pengalaman noumena yang berlawanan dengan pengalaman fenomenal. Pengalaman noumena ini memiliki konsep dasar metaempiris. Seperti konsep ruang-waktu yang pada dataran konsepsional adalah metaempiris. Apakah kita mengetahui esensi ruang dan waktu? ruang dan waktu dalam wujud fenomenal diterima keberadaannya secara apriori bahwa waktu dan ruang mesti ada sebagai ukuran keberadaan manusia. Demikian juga pengalaman keberagaman manusia yang dapat dirasakan langsung walaupun sulit untuk ditunjukkan.

Kedua, kesadaran Agama dapat diperoleh manusia ketika manusia mampu melepaskan dominasi sensualitas indrawi dan paradigma pemikirannya. Yang dimaksud di sini adalah sensualitas indrawi dan paradigma manusia akan selalu menarik manusia ke dalam unsur-unsur fisik yang dimilikinya dan paradigma yang membenarkan pemikiran-pemikirannya semata. Kesadaran agama dapat dilatih dan dapat diperoleh dengan latihan-latihan, seperti sembahyang, meditasi, shalat dan teknik-teknik agama yang lain yang mampu menetralisir peran dominan fisik dan pikiran seseorang.

Ketiga, kepercayaan terhadap Agama adalah kepercayaan yang dimiliki oleh para ilmuan. Konsep relativitas dan keragu-raguan mengandaikan sebuah keyakinan, bahwa di balik keraguan pada dasarnya adalah sebuah keyakinan. Yakin terhadap keraguan itu sendiri. Orang yang ragu berarti sekaligus membangun keyakinan bahwa ada di balik keyakinan relativitasnya dan keraguannya sebuah keyakinan terhadap hal lain selain itu. Demikian pulalah keyakinan terhadap agama ada.

Keempat, kondisi Intuisi yang dominan sebagai perangkat pembenar dalam agama adalah hal yang biasa, yang bisa dilatih dengan pembiasan rutin. Seorang pianis secara intuitif akan merasakan sebuah kesalahan dalam ritme karena terbiasa dan terlatih dengan semua not dan musik. Begitu juga intuisi keagamaan hanya membutuhkan pelatihan rutin dan pengasahan belaka. Lalu bagaimana membuktikan kebenaran kata-kata intuitif ini? Ignas Kleden menggambarkan dengan cantik kondisi ini, "kepercayaan seorang empirisme adalah kepercayaan terhadap alam bahwa alam ini tidak mungkin berbohong. hal yang persis juga terjadi pada kaum Agamawan bahwa tidak mungkin Tuhan juga membohongi hambaNya dengan pemberian intusi yang telah diberikanNya”.

Mustatho
Koordinator MataPena Cendekia, STAIS Kutai Timur
http://mustathok.blogspot.com
email. Tatok.m@gmail.com
tlp. 0549-5503795

Labels:

DISIPLIN ITU INDAH


BUDAYA DISIPLIN LALU LINTAS
(20 Push Up untuk Pelanggar Lampu Merah)
Ulasan Perjalanan Jakarta-Kalimantan Timur

Mustatho’

Minggu (10/11) Pondok Pinang, Jakarta Selatan News-.

Angkot D01 warna biru langit meluncur gontai dari arah pasar Kebayoran Lama. Sesekali angkot berhenti tiba-tiba di setiap gang yang dilewatinya. Seakan mengerti kehendak sopir tuk memastikan tidak ada seorangpun yang bertujuan ke arah Ciputat diserobot angkot lainnya, buru-buru sekali gas menyalak. Kepulan asap kenalpotpun menghintamkan jalan menandai jalanan yang telah dilewatinya.

“Tarikan lagi sepi, masak sampai sejauh ini baru ada 3 penumpang diangkotku”, gerutu sang sopir sambil menatap kaca pengintai penumpang yang terletak di atas kepalanya. “Benar juga hanya ada 3 orang”, sahutku dalam hati, sambil memelototi para penumpang yang terdiri dari aku, seorang ibu separuh baya yang tampaknya menghabiskan uang banyak untuk mengusir kulitnya yang mulai agak keriput dengan mack up tebalnya, dan seorang bapak yang jelas sekali merasa capai setelah semua dagangannya habis terjual di Pasar. Tampaknya ia telah berjualan sedari tadi pagi buta, melihat dua keranjang besar sayurnya yang kosong dan telah berganti isi dengan sembako dan dua kiloan buah jeruk segar.

Jakarta memang tak pernah bosan dengan tradisi macetnya. Salip menyalip sudah biasa, siapa yang mau mengalah kalau uang setoran belum tertutupi?. Disiplin lalulintas, rambu, apalagi polisi, gampanglah nanti, ”urusan belakang itu”, demikian paham jamak di kalangan sopir angkot. Hingga tak heran para polantas sering dibuat marah kebelingsatan oleh ulah sopir yang dengan sekenanya berhenti di zona merah stop, ataupun semaunya menyerobot lampu merah yang nyata-nyata melarang setiap kendaran melaju. Lajur Bus trans Jakarta pun ibarat jalur khusus untuk mereka, karena lebih sering dilewati mereka dari pada bus Trans Jakarta sendiri.

Namun apakah pelanggaran fital yang menjadi tidak fital lagi karena saking biasanya dilanggar ini selamanya bisa disiasati?. “Polisi juga manusia biasa, butuh makan dan memiliki hasrat menikmati kepuasan sensasi rokok kretek Dji Sam Soe disela-sela hirupan rasa pahit-getirnya secangkir kopi hitam”. “Jadi semuanya itu adalah urusan kompromi” tandas setiap kepala para pelanggar.

Tiba-tiba angkot yang telah membawaku jauh dari Kebayoran Lama itu mencicit, mengeluarkan jeritan miris dari keempat rodanya. Roda-roda yang sudah mulai botak, namun tidak kehilangan kekokohannya ini tak sempat bersiap untuk berhenti, karena tiba-tiba seorang polisi telah berkacak pinggang di depannya, menfungsikan peluit yang dari mulai ia bertugas telah melingkar di pundak kanannya untuk menghentikan laju kita.

“Apalagi sih bang?”. Ibu-ibu setengah baya dengan suara ketus merespon aksi berhenti yang tiba-tiba ini. Nampaknya ia belum tahu kalau alasan berhenti kali ini karena dihentikan Polisi. Yang ia pikir, berhentinya D01 kali ini menambah banyaknya rekord “ngetime” tanpa alasan seperti sebelumnya. “O… ada Polisi y”, emang kenapa sih bang?”.

Di luar tampak obrolan Polisi-Sopir Angkot. Namun aneh, Bapak Petugas itu tak menghendaki sang sopir lebih mendekat. Dengan mengangkat tangan dan menunjuk arah memutari motornya, polisi menghardik. Dengan ketaatan, sang sopir memutar dan setibanya di lokasi yang dikehendaki Pak Polisi, yang tampak oleh kami adalah Push Upnya sopir angkot.

Sambil berjalan kembali ke angkotnya, senyum kecut keluar dari bibir si sopir. Antara malu dan sadar, sopir ini berujar, “Di suruh Push Up 20 kali”, entah kepada siapa ujaran ini ditujukan, karena di antara kami (penumpang) belum seorangpun yang membuka pertanyaa. “Emang kenapa?” seorang nenek yang paling diam karena kantuknya semenjak naik dari Pasar Kebayoran ini tak pelak bertanya. “Tadi, melanggar lampu merah”, jawaban yang mendiamkan kita semua.

“Oalah saiki hukumane push up toh, kanggo hukuman bagi pelanggar lalu lintas!.” batinku dalam hati.

Entah karena PERDA lalu lintas atau memang karena kreatifitas Bapak Polisinya. Yang jelas, yang membuatku salut adalah keinginan satu Polantas ini untuk menyadarkan tindak pelanggaran yang selama ini dianggap biasa, patut diacungi jempol.

Tujuan punishment yang ditunjukkan Bapak Polisi dalam kasus inilah yang seharusnya dijadikan acuan kerja oleh setiap aparatus negara. Bahwa punishment yang efektif bukanlah pada bentuknya yang memberatkan, tetapi pada efektifitas penyadaran yang dihasilkannya.

Peristiwa ini nyata, dan terjadi sepulang saya dari Rumah saudara, Mas Aak (Ibnul A’roby –wartawan Indopos), di Kampong Baru, Kebayoran Lama, Minggu 09 Nopember 2008. Beliaunya sendiri (Mas Aak) kini, tinggal di Cawang mulai 15 Nopember 08 yang lalu. Sementara penulis kini ada di Sangata, Kutai Timur Kaltim, untuk memburu cita-citanya, sebagai dosen di STAI Sangata.

Friday, July 17, 2009

KOMODITISASI PESAN AGAMA

KOMODITISASI PESAN AGAMA

Opini Oleh
Mustatho

Opini dikirim ke Islam Liberal on line, 11/10/08

Banyak iklan di TV yang menawarkan dimensi mistis, terkait dengan masa depan, karir maupun jodoh. Kebimbangan –mungkin tepatnya disebut tipisnya iman, manusia moderen dijadikan acuan memasarkan ramalan, primbon ataupun “pandangan” masa depan. Hal ini terasa sangat aneh, mengingat bangsa Indonesia adalah bangsa yang berketuhanan, ataukah memang zamannya telah edan?. Hal yang seharusnya menjadi tontonan, dianggap sebagi tuntunan, sebaliknya tuntunan yang semestinyapun dilupakan. Joko Bodo, Mama Lauren dan para Peramal menjadi idola.

Memang, setiap manusia baik sebagai individu ataupun berstatus sebagai anggota kelompok masyarakat, membutuhkan tata atur, rasa nyaman, dan keinginan untuk mendapatkan kebahagiaan. Tak pelak, celah inilah yang ‘diimingkan’ oleh media dengan para tokoh peramalnya. Manusia melupakan agama sebagai peneguhan akhir dari semua permasalahnya, dan lebih memilih kenyamanan semu yang ditawarkan di dunia ini. Mereka lebih memilih kepentingan langsung yang berupa materi, di mana cara dipandang sebagai tujuan dan menempatkan kepalsuan menggantikan kebenaran. Al-Qur’an memperingatkan dalam surat Al-Dhuha (93:4) ; “Dan sesungguhnya hari kemudian itu lebih baik bagimu daripada yang sekarang (permulaan)”. Ayat ini sekaligus membimbing manusia untuk menjaga track kehidupan agar tidak melupakan tujuan akhirnya yakni “kebahagiaan” dunia dan akhirat.

Permasalahan manusia moderen saat ini –begitu juga di Indonesia, adalah kekeringan iman. Agama ditempatkan tidak lebih sebagai urusan spiritual belaka, yang menempati posisi sekunder. Lebih tragis lagi, agama dilambangkan ke dalam pernyataan skriptual, yang disimpulkan dalam sistem formal kelembagaan, melalui tarekat, ormas, majelis dzikir, maupun institusi lain, yang dengannya urusan spiritualitas masyarakat bisa diwakilkan. Manusia moderen sambil lalu menitipkan urusan agama pada agamawan, guru spiritual maupun pembimbing (mursyid-mursyid) mental.

Peran agama dalam dunia moderen diperdagangkan. Tak heran, banyak kalangan elit kenegaraan, para jenderal, artis, pebisnis sampai tokoh politik mempunyai guru-guru spiritual yang hanya dibutuhkan ketika urusan dunia mereka membutuhkan agama sebagai back up atas kejayaan mereka. Agama hanya ada ketika dibutuhkan dan dianggap sebagai perkara klenik belaka. Pesan agama menjadi timpang dalam dimensi mistisnya.

Benar bahwa dimensi tertinggi dalam agama adalah kepercayaan kepada hal gaib. Sebagaimana disebutkan dalam surat Al-Baqarah (2) ayat 3 ; “Yaitu mereka yang beriman kepada yang ghaib…”. Namun bukan berarti kepercayaan pada yang gaib ini bisa diartikan sebagai kekuatan yang sekonyong-konyong dapat diperlakukan untuk mendongkrak popularitas seseorang, melanggengkan jabatan ataupun mempermudah promosi. Kepercayaan instant semacam inilah yang kemudian mewabah pada fenomena menjamurnya rajah, tulisan-tulisan arab yang dianggap keramat (asma’), sampai pada cincin batu akik.

Kepercayaan dan kepekaan terhadap yang gaib ini menurut Fazlur Rahman dalam Major Themes of the Qur’an (1980) pada dasarnya berguna untuk melatih seseorang yang beragama untuk merasakan adanya kedekatan dan sekaligus pengawasan dari Tuhan. Kepercayaan kepada yang gaib ini adalah kebenaran tertinggi yang akan membimbing manusia pada pemenuhan iman sejati. Sebagaimana dalam al-Qur’an surat al-Qaaf (50) ayat 33 ; “(Yaitu) orang yang takut kepada Tuhan Yang Maha Pemurah sedang Dia tidak kelihatan (olehnya) dan dia datang dengan hati yang bertaubat”.

Agama Solving

Kecenderungan seorang yang beragama terhadap yang gaib bukanlah berarti ketundukan dan kepasrahan kepada takdir, menyerah pada keadaan dan kesempatan serta perasaan tidak mampu untuk berusaha dan berkarya. Iman juga tidak berarti kepercayaan pada hal-hak yang irrasional, ia adalah perasaan yang akan menghantarkan seseorang pada pemahaman akan eksistensi Tuhan. Bukankah dalam kehidupan ini, dalam pengalamannyapun, manusia sering menjumpai hal-hal yang sulit diterima akal sehat biasa? Makna iman sesungguhnya adalah pengakuan atas keterbatasan kemampuan manusia, akal dan pancainderanya.

Manusia adalah insan-insan sosial yang menyadari keterbatasan dirinya sendiri serta membutuhkan sesama dan kekuatan supranatural yaitu ALLAH. Ketidakmemadaian akal sehat biasa adalah hal yang niscaya, karena ia memang bertolak dari hal ikhwal dan logika keseharian tentang apa yang dipandang wajar, lazim dan benar dan apa yang tidak. Akal sehat biasa manusia akan sangat sulit menerima kebenaran yang belum pernah ia temui atau bayangkan seperti lazimnya ia berpikir. Kontradiksi paham dam pengalaman ini akan menyumbat kebermaknaan beragama manusia, menjadikan keberagamaan kering dan jauh dari penghayatan. Untuk itu, manusia memerlukan cara pandang lain yang mampu mengatasi kontradiksi pemahaman kehidupan ini, yang apabila tidak terselesaikan maka akan mengganggu keimanan seseorang. Peter Berger menyebutnya dengan “struktur kebermaknaan” (plausibility structure) yaitu mengembalikan akar persoalan pada model tatanan yang dipercayai itu sendiri, yakni agama.

Agama dengan seperangkat metodologinya hadir untuk menyelesaikan kontradiksi-kontradiksi pengalaman yang tidak bisa terselesaikan oleh kecanggihan akal manusia. Agama adalah penerang, Islam menyebut wahyunya –al-Quran, sebagai Hudan yang bermakna sebagai petunjuk, tidak hanya pada hal-hal rasional, empiris tetapi melampaui semua pandangan serba terbatas akal dan panca indera manusia. Begitu pengalaman manusia melampaui hal-hal keseharian yang umum dipahami dan diterima oleh akal dan panca inderanya, maka orangpun memerlukan penjelasan metaforis yang berbicara tentang makna hakiki dan atau tujuan hidup. Di sinilah sekali lagi hanya agama yang mampunyai jawabnya, system makna yang menjangkau seluruh keperluan manusia, tidak hanya untuk keperluan hari ini, di dunia ini, tetapi juga menjangkau harapan dan imajinasi kehidupan setelah hidup ini. Agamalah yang menurut Clifortz Geertz mempunyai system makna (system of significance) yang tepat untuk manusia. Tidak pada ramalan, primbon apalagi terawangan yang dihasilkan oleh nalar manusia yang sangat terbatas.

Mustatho
Hp. 0815 7878 5376/ 081254447281
Blog. http//.mustathok.blogspot.com
Email. tatok.m@gmail.com

TRANSFORMASI MAKNA MABRUR

TRANSFORMASI MAKNA MABRUR
Opini Oleh
Mustatho’

Opini dikirim ke Koran Tempo, 11/12/08

Dari tahun ke tahun, jumlah jamaah Haji Indonesia semakin mengalami kenaikan pesat. Tahun ini, pada musim haji 2008, Pemerintah Indonesia memberangkatkan takurang 207 juta jamaah. Seabrek pengalaman pahit penyelenggaraan haji tahun 2007, seperti kelaparan di Mina, banyaknya jamaah haji yang tak mendapatkan penginapan di Mekah, dan berbagai kesulitan haji lainnya, pada tahun ini tidak bisa dikatakan akan tidak terulang kembali. Pertanyaanya adalah apa sebenarnya sumber masalah dalam pelaksanaan ibadah haji kita?, mengapa dari tahun pelaksanaan ke tahun yang lain tidak pernah bisa teratasi?. Tentu jawabnya sangat kompleks, satu yang paling fundamental adalah teologi haji yang endemic dalam jamaah kita.

Meskipun ibadah haji merupakan ibadah yang bertendensi teologis, namun persoalan haji adalah persoalan kemanusiaan. Asumsi teologis yang menempatkan perolehan pahala dan fadhilah haji sesuai dengan kesusahan yang didapat, tidak bisa dibenarkan. Alih-alih menjadikannya mambur, asumsi keikhlasan seraya mengharap pahala dari kesalahan penyelenggaran haji equivalen dengan memelihara kedhaliman yang bakal terus berulang. Dalam al-Qur’an disebutkan, “Hai orang-orang yang beriman bertakwalah kepada Allah dan hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok.., (al-Hasyr, 59:18)

Asumsi teologis yang menjadi akar tunggang persoalan haji ini seharusnya dibongkar dari sekarang. Kasus seorang jamaah haji yang ikut kelaparan di Mina pada musim haji 2007, ketika diwawancarai sebuah televisi swasta, menjadi kecemasan kita bersama. Dengan tegas dia mengatakan bahwa kejadian itu adalah sebuah ujian dari Allah dan karenanya dia tak mau menuntut atau menggalang class action kepada Departemen Agama. Baginya, yang sudah terjadi di Tanah Suci tak perlu diungkit-ungkit karena hal itu bisa membatalkan pahala haji seseorang.

Pembongkaran asumsi teologis haji ini dapat dibandingkan dengan proyek perluasan dua kota suci (haramain) yang telah dilakukan mendiang Raja Fahd, seperti perluasan batas geografi Arafah dan Mina, perluasan Safa-Marwah, pengaturan penyembelihan hewan kurban, dan yang paling mutakhir, memperbesar ukuran “setan” Jamarat dari hanya tiang kecil menjadi tembok berukuran lebar tujuh meter.

Dengan kaedah maslahah sebagai alat bongkarnya, teologi ibadah hajipun harus tetap mengutamakan lima sendi tujuan hukum Islam (asas al-khamsah), yakni menjaga harta, martabat, jiwa, keturunan dan agama, hingga pelaksanaan ibadah haji oleh pemerintah benar-benar dapat dipertanggungjawabkan, dan para jamaah haji dapat menunaikan ibadahnya dengan sempurna. Tentunya, inilah yang diharapkan semua keluarga, kerabat dan handai taolan melihat para jamaah haji pulang dengan selamat, sehat, dan menyandang predikat “haji mabrur”.

Haji yang Tercerahkan

Sedikitnya ciri seorang yang meraih “haji mabrur”, adalah cerminan bagi calon jamaah lainnya. Predikat haji mambrur adalah proses yang tiada henti, mulai dari mempersiapkan bekal materi, dan ditunjang dengan bekal spiritual, sebagaimana dalam firman Allah, “Berbekallah, dan sesungguhnya sebaik-baik bekal adalah takwa”, sampai dengan keikhlasan berhaji semata-mata karena Allah dan bukan untuk membanggakan diri supaya nanti dipanggil dengan “predikat haji” di depan namanya.

Di sisi lain, haji mabrur adalah keterpenuhan dua aspek ibadah, yakni aspek sosial (habl min al-nas), dan aspek vertikal (habl min Allah). Karena itu, Islam sangat melarang pemeluknya melaksanakan berkali-kali haji ke Makkah, sementara tetangga di sekitarnya banyak yang menderita dan hidup dalam kelaparan. Islam juga melarang hambanya hanya sekedar mementingkan urusan ibadah, terlebih dengan tujuan rekreatif.

Haji mabrur adalah “ritual” yang menjadikan pelakunya lebih baik atau dalam bahasa Ali Syari'ati menjadi manusia tercerahkan. Adapun manusia yang tercerahkan, menurutnya adalah manusia yang bisa mensinergikan nilai keimanan pada Tuhan dengan tidak melupakan perhatian kemanusian. Al-Qur’an menyebutnya sebagai keseimbangan berpikir, antara nilai dunia dan nilai akhirat, al-Qashas, 28: 77 “Dan carilah pada apa yang dianugerahkan kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat dan janganlah kamu melupakan bagianmu dari (kenikmatan) dunia..”.

Tak disangkal memang, semua jenis ibadah (mahdah), termasuk ibadah haji, titik tekannya adalah aspek vertikal (habl min Allah), tapi bukan berarti lepas dari aspeks kemanusiaan (habl min al-nas). Karena, tanpa dibarengi aspek terakhir tersebut tentunya ibadah haji yang ditunaikan dengan susah payah bisa saja tidak diterima oleh Allah. Inilah yang diserukan oleh Islam sebagai perolehan dari Ibadah haji, yakni dengan menjadikan haji sebagai rahmat yang bersifat totalitas dan menyeluruh, dari dunia sampai akhirat. Menjadi rahmat dalam akidah dan hukum, dalam akhlak umum dan kehidupan keluarga, dalam masyarakat dan bangsa.

Dari sinilah mengapa dalam Islam, ibadah haji yang diwajibkan hanyalah sekali yang disebut dengan Hajjatul Islam (Ibadah haji yang wajib sekali seumur hidup). Maka, sepertinya tepat hadits Nabi dari Ibnu Mas’ud r.a yang menyebutkan “Di akhir jaman akan banyak orang pergi haji tanpa sebab tertentu“. Tanpa diperintah oleh agama, puluhan juta rupiah berpotensi tidak menghasilkan pahala apa-apa!

Memang tidak berarti semua yang melakukan ibadah haji lebih dari sekali, tidak akan mendapatkan pahala. Hanya Allah SWT yang berhak memberikan penilaian. Namun, dengan hadits di atas kita sudah diberikan rambu2 yang membuat kita bisa melihat dengan lebih jelas bahwa haji dan atau umrah yang tidak memberikan pahala adalah haji yang tidak ada tujuan, yang hanya bertujuan mencari kesejukan dan kenangan spiritual, yang hanya mencari kebanggaan dan pujian, yang hanya mencari tempat yang katanya dengan menangis di sana terasa lebih nikmat, yang hanya mencari tempat pelarian dari rasa bersalah atas keberangkatannya ketanah suci yang berasal dari hasil korupsi, yang mencari obat dari kegersangan hatia, dan bukan dengan tujuan mencari ridha Allah SWT.

Dalam sebuah hadits, Nabi menjelaskan indikasi haji mabrur; yakni thibul kalam (baik perkataannya), ith'amu al-tha'am (memberi makan) dan yang terakhir adalah ifsyau al-salam (menyebarkan kedamaian). Jadi, haji mabrur adalah transformasi akhlak (budi pekerti luhur) dan amal shaleh secara sosial. Dari kepedulian diri untuk memupuk spiritual pribadi menuju kepedulian sesama. Karena menjaga hubungan baik dengan sesama manusia --dalam ajaran Islam-- sama pentingnya menjaga hubungan baik dengan Tuhan. Setiap muslim harus seimbang menjaga keduanya agar tetap terpelihara. Al-Quran mengancam kaum muslim dengan siksa api neraka yang sangat pedih bila hanya menjaga hubungan baik dengan Tuhan, sedang hubungan baik dengan sesama manusia terlupakan (QS Al-Ma'un [107]:4-5).

Bisa dipahami kemudian jika setiap perintah ibadah vertikal selalu diikuti dengan seruan ibadah horisontal, seperti perintah shalat yang diikuti dengan perintah beramal, perintah puasa diikuti dengan perintah zakat fitrah yang merepresentasikan aspek sosial. Dari aspeks itu, maka Nabi bersabda, bahwa di antara ciri-ciri orang yang mendapat “haji mabrur” adalah ketaatan ibadahnya bertambah, tidak keluar dari mulutnya ungkapan tak baik dan empati sosial pada sesama semakin baik, termasuk dalam hal menyantuni anak yatim dan orang-orang yang tidak mampu. Jika seseorang melaksanakan hal itu, berarti sudah mendapatkan haji mabrur.

Mustatho’,Koordinator MataPena Cendekia
Sekolah Tinggi Agama Islam Sengata (STAIS) Kutai Timur
Hp. 0815 7878 5376
Blog. http//.mustathok.blogspot.com
Email. tatok.m@gmail.com

Labels:

AGAMA DAN KEPEDULIAN SOSIAL

AGAMA DAN KEPEDULIAN SOSIAL

Opini Oleh
Mustatho’

Dikirim ke Suara Pembaruan, 18/12/08
Momen hari raya Kurban 1429 H telah diperingati dengan gempita oleh hampir semua elemen umat Islam. Dengan datangnya momen kurban ini seakan persoalan umat sedikit terkurangi. Setidaknya momen kurban mampu mengalihkan sedikit frustasi umat di tengah himpitan persoalan hidup. Pertanyaannya adalah, mampukah etos dan nilai kepedulian yang ada dalam perayaan idul Adha ini tetap mengilhami umat Islam untuk senantiasa perduli pada sesamanya?.tidak hanya sekedar aksi sehari tetapi menjadi aksi organic yang senantiasa hidup dikalangan umat Islam?

Sikap hidup manusia beragama tentunya dipengaruhi oleh pandangan hidupnya yang diilhami langsung oleh paham keagamaannya. Mempertanyakan kembali paham dan tafsir norma agama di sini penting karena semua norma terkait erat dengan amalan praksisnya, seperti pewajiban shalat yang tujuan praksisnya adalah pencegahan kemungkaran, dan zakat sebagai bentuk kepedulian sosial. Keterkaitan paham agama dengan sikap hidup manusia, menjadi cerminan bagaimanakah posisi agama yang seharusnya menjadi world construction bagi pemeluknya terimplementasikan sebagai “penyelamat dan pembebas” bagi manusia lain dari ketercekaman dan kesulitan hidup. Bukankah setiap ajaran agama menghendaki setiap pemeluknya untuk menjadi pioneer dalam melakukan kebajikan di dunia ini?.

Di satu sisi memang menolong sesama yang berada dalam kubang kemiskinan dan ketidakadilan adalah wujud penghayatan dan aktualisasi dari keyakinan agama setiap manusia, namun di sisi lain tidak jarang aktualisasi dari penghayatan ini menjadi soal dan justru memenjarakan tujuan muliyanya, bahkan terkadang menjadi beban dan tragedy bagi kemanusiaan yang lainnya. Pemahaman agama yang melulu memihak dan mendasarkan pada aspek normative ketimbang aspek sosiologis mungkin menjadi persoalannya. Bahwa pemahaman masyarakat kita masih terbatas pada usaha menjadi saleh untuk dirinya dan taat beragama secara formal hingga melupakan usaha-usaha aktif pemberdayaan dan kegiatan sosial ekonomi kemasyarakatan secara konstan.

Teologi Kepedulian

Jelas, bahwa kemunculan setiap agama pada awalnya adalah bentuk pembebas dari konteks situasi sosial di mana agama itu lahir. Sebagaimana agama Kristen hadir untuk menjadi pembebas bagi kondisi materialisme masyarakat yang menggila, maupun Islam yang hadir menawarkan pembebasan bagi ketidakadilan masyarakat, kebobrokan moral dan despotisme yang nyata menggerogoti bangunan kemanusiaan yang ada saat itu.

Semangat awal Islam yang memerintahkan umatnya untuk menegakkan keadilan, memberantas kemiskinan dan menghapus ketidaksetaraan menjadi sia-sia manakala umatnya kini menganggapnya sebagai hal yang normatif, terlebih menilainya sebagai hal yang kodrati. Pewujudan keadilan dianggapnya sebagai sutau yang abstrak dan menggantung di langit ide teologis semata.


Agama, yang seharusnya menjadi titik pijak yang cukup penting dalam keterlibatannya mewujudkan masyarakat adil, sejahtera dan setara, harus dikembalikan pada tujuan awal penurunannya. Hal ini menjadi penting di saat Negara, yang seharusnya berperan lebih terhadap masyarakatnya ternyata tidak mampu memerankan peranan pembangunan dan mengantarkan transformasi sosial ekonomi masyarakat yang terjerat kemiskinan. Cukup tragis memang, di Negara Indonesia yang terkenal sebagai lumbung beras ini, kemiskinan tergambar begitu menganga, nasi aki menjadi menu utama, nasi sampah menjadi biasa, tak mengherankan kemudian penjual-belian daging limbah menjadi pilihan.

Peran ideal agama sebagai pembebas dan perubah kondisi sosial semakin diharapkan ke depan. Peran inilah yang akan menghantarkan dan membentuk masyarakat muliya dan beradab (masyarakat madani). Namun demikian, mungkinkah hal ini bisa terwujud di tengah kondisi paham masyarakat yang masih berkutat pada paham formal agama? Menghayati dan mengamalkan agama sebatas ajaran fikih, bertindak berdasarkan nilai etik wajib-haram, pahala-dosa belaka?.

Paham agama dengan etika fikih akan sangat kesulitan menghadapi persoalan hidup dan keumatan. Paham etika fikih akan melahirkan kekakuan pelaksanaan agama, alih-alih menjadi pembebas, paham ini seringnya justru menjadi pemicu keterbelengguan. Dari pemikiran dan paham agama seperti ini sangat jauh diharapkan munculnya keprihatinan sosial yang sesungguhnya, yakni keprihatinan yang bisa melahirkan kesadaran untuk dengan ikhlas mengantarkan transformasi kehidupan masyarakat lapis bawah, mengentaskan kemiskinan dan menegakkan keadilan.

Suatu pembaruan sosial, lebih-lebih perubahan sosial, dari sudut agama baru betul-betul konkrit jika memang didasari oleh ajaran agama itu sendiri. Usaha merubah masyarakat tidak akan berarti tanpa adanya perubahan pemahaman agama di tingkatan praksis. Dalam hal ini, usaha perubahan pemahaman agama setidaknya harus dilandasi pada dua kesadaran awal:

Pertama, kesadaran baru tentang sisi historis kelahiran agama, bahwa sebuah agama muncul untuk merespons penderitaan dan kesengsaraan yang mencekam kehidupan umat manusia akibat penindasan dan eksploitasi yang dilakukan komunitas sosial maupun individu yang dominan. Agama dalam makna esensial ini lahir sebagai bentuk keprihatinan atas realitas sosial yang timpang. Untuk itu, kehadiran agama merupakan upaya kritik dan pembelaan atas upaya-upaya dehumanisasi, penistaan terhadap harkat dan nilai-nilai kemanusiaan.

Kedua, dari sisi doktrinal-normatif agama, teks-teks suci agama yang bersifat normatif sangat perlu dipahami secara utuh, sehingga nilai-nilai substansial agama dapat ditangkap secara keseluruhan. Dalam ayat-ayat Al-Qur’an, dapat ditemukan penjelasan bahwa agama mengandaikan keseimbangan antara dua kepentingan, Tuhan dan manusia. Bahkan problem kemanusiaan terkadang lebih penting untuk dikedepankan. Dalam surat al-Ma’un (107) misalnya ditegaskan bahwa para pendusta agama adalah mereka-mereka yang hanya menikmati sembahyang (juga ritual-ritual formal lainnya), tapi lupa akan nasib orang-orang yang tereliminasi dan menderita secara sosial-ekonomi.


Tanpa mengadakan pembaruan pemikiran dan pemahaman keagamaan dan etos kepedulian sosial yang tidak mengacu kepada misi utama Islam sebagai pembebas dan penyelamat, akan sangat sulit mendapati Islam berperan dalam perkembangan masyarakat dewasa ini, utamanya dalam menghadapi tantangan global.

Karena itu, pembaruan pemikiran dan pemahaman keagamaan kiranya masih perlu diusahakan terus menerus agar agama Islam dapat mengulang kembali peranannya sebagai pembela kaum miskin, menciptakan masyarakat yang adil dan sejahtera. Etika pembebasan inilah yang dahulu pernah diwujudkan oleh Nabi dan para sahabatnya, dan sudah saatnyalah kaum muslim Indonesia meneruskan warisan luhur ini, yakni melakukan transformasi umat secara menyeluruh terutama lapis sosial bawah yang selama menjadi korban ketidakadilan.

Mustatho, Dosen Sekolah Tinggi Agama Islam Sangatta Kutai Timur, Kal-Tim.
Alamat: Jl. APT Pranoto, Sengata Utara Kutai Timur .
Hp. 0815 7878 5376
Blog. http//.mustathok.blogspot.com
Email. tatok.m@gmail.com

Labels:

FATWA DAN DINAMIKA SOSIAL

Fatwa dan Sensifitas Sosiologis

Opini Oleh
Mustatho’

Opini dikirim ke Seputar Indonesia, 18 Februari 2008

Belum cukup reda memori umat Islam Indonesia, bagaimana imbas fatwa MUI tentang Jemaah Ahmadiyah sebagai kelompok yang sesat dan menyesatkan telah berakibat pada tindakan anarkhis dan brutal berupa penghancuran markas pusat Jemaah Ahmadiyah di Parung Bogor yang dilakukan oleh umat atas nama Islam. juga tindakan-tindakan yang menjurus pada anarkhisme dalam kasus RUU APP (Anti Pornografi). Dua Fatwa terakhir MUI tentang Fatwa haram merokok dan Golput memungkinkan class social yang lebih parah, di samping ditengarai lebih bernuansa politis juga sebagai akibat dekatnya fatwa ini dengan pemilihan umum 2009 tahun ini.

Yang harus dipetakan dari sini adalah terminologi fatwa dan kaitannya dengan kajian fikih (produk hukum). Memahami fatwa berarti memahami ajaran Islam yang diformulasikan untuk menilai tingklah laku (amalan) dari manusia yang telah mukallaf. Faham ini kemudian menempatkan fatwa sebagai derivasi dari fikih.

Fikih, sebagaimana dimensi ajaran agama Islam lainnya, mengandung aspek-aspek hukum, yang kesemuanya dapat dikembalikan kepada sumber ajaran Islam itu sendiri, yakni Al-Qur’an dan al-Hadith. Dalam menjalankan kehidupan sehari-hari, baik sebagai pribadi, anggota keluarga dan anggota masyarakat, di mana saja di dunia ini, umat Islam menyadari ada aspek-aspek hukum yang mengatur kehidupannya, yang perlu mereka taati dan mereka jalankan. Tentu saja seberapa besar kesadaran itu, akan sangat tergantung kepada kompisi besar-kecilnya komunitas umat Islam, seberapa jauh ajaran Islam diyakini dan diterima oleh individu dan masyarakat, dan sejauh mana pula pengaruh dari pranata sosial dan politik dalam memperhatikan pelaksanaan ajaran-ajaran Islam dan hukum-hukumnya dalam kehidupan masyarakat itu.

Dalam syariah Islam — baik di bidang peribadatan maupun di bidang mu’amalah — Abdul Wahhab Al-Khallaf menyebutkan ada 228 ayat al-Qur’an yang dapat dikategorikan mengandung kaidah-kaidah hukum di bidang mu’amalah, atau sekitar 3 persen dari keseluruhan ayat-ayat al-Qur’an. Rumusan kaidah-kaidah hukum di dalam ayat-ayat ini pada umumnya masih bersifat umum, yang membutuhkan interpretasi dan galian hukum lebih lanjut dengan perangkat ushul dan kaidah fiqhnya.

Baik fikih maupun fatwa kemudian tidak bisa dilepaskan dari konsep istinbathnya, yakni seperangkat kemampuan mengkaji hukum melalui nash-nash yang menjadi sumber utama dengan metodologi yang dianggap absah; yaitu Metodologi ushul dan kaidah-kaidah fiqhnya. Ushul fiqh sebagai disiplin yang mengkaji hukum, bukan hanya mempelajari masalah-masalah hukum dan legitimasi dalam suatu konteks sosial dan institusional tertentu, melainkan juga melihat persoalan hukum sebagai masalah epistemologis. Sementara kaidah-kaidah fiqh secara generik juga dapat dinilai sebagai subtansi materiil dari fiqih itu sendiri. Dari ushul dan kaidah-kaidah fiqh inilah hukum-hukum baru dilandaskan. Termasuk di dalam masalah merokok dan pilihan golput.

Sebagai the queen of Islamic sciences, ushul fiqh dan kaidah fiqih kemudian memegang peranan penting dan strategis dalam melahirkan produk hukum yang rahmatan lil alamin. Wajah kaku dan keras ataupun lembut dan humanis fiqh sangat terkait erat dengan bangunan fiqh dan kaidah yang melahirkannya. Sebagai ‘mesin produksi’ hukum Islam, ushul fiqh dan kaidah fiqh menempati poros dan inti dari ajaran Islam. Rekonstruksi epistemologis ushuli dengan landasan humanis di sini kemudian sangat diperlukan. Contoh praktis adalah kaidah prioritas dalam fiqh ”darkul mafasid muqaddamu ala jalbil masalih” akan menghindarkan seorang mujtahid dari sekedar memburu tujuan, dan lebih mengutamakan terhindarnya kerusakan yang semestinya terjadi.

Rumusan metodologis ushul fiqh juga seharusnya bersifat dinamis dan terbuka terhadap upaya-upaya penyempurnaan. Sifat dinamis dan terbuka terhadap perubahan ini sebagai konsekwensi logis dari tugas ushul fiqh yang harus selalu berusaha menselaraskan problema kemanusiaan yang terus berkembang dengan pesat dan akseleratif. Imam asy-Syafi`i, dengan qaul qadim dan qaul jadidnya menjadi protoype ideal bagaimanakah perubahan zaman selalu berpengaruh pada perubahan hukum. Imam asy-Syafi’i seharusnya diapresiasi oleh generasi ummat Islam berikutnya dengan selalu mengadakan kontekstualisasi ataupun pembaharuan ushul fiqh pada semua arasnya, pembaruan aras epistemologi, dalam aras metodologis, dan pembaruan dalam aras materi atau topik-topik hukumnya.

Sosiologi Produk Hukum

Selain berangkat dari aras metodologis, produk hukum (fiqh) kemudian juga sangat terkait erat dengan tendensi sosiologis dan politik yang melingkupinya, yang timbul sejalan dengan kepentingan masyarakat dan trend sosial yang ada. Bagaimanapun, hukum (fiqh dan derivasinya) adalah mainstream masyarakat saat di mana hukum itu diproduksi.

Fatwa dalam prespektif sosiologis, tidak bisa terlepas dan bebas dari nilai masyarakat. Nilai-nilai inilah yang kemudian apakah bertentangan ataukah sejalan dengan masyarakat bergantung oleh kuasa dominan yang ada. Dalam bahasa Foucoult kuasalah (politik) yang mereproduksi kebenaran.

Dalam kasus dua fatwa MUI tentang fatwa haram merokok dan golput ini, setidaknya asumsi politis yang ada dapat ditinjau ulang ke dalam tiga model keterlibatan antara politik dan hukum. Pertama, hukum yang mungkin lebih determinan atas politik, dalam arti bahwa hukum harus menjadi arah dan pengendali semua kegiatan politik. Kedua, politik bisa lebih determinan atas hukum, dalam arti bahwa dalam kenyataannya baik produk normatif maupun implementasi penegakannya hukum itu sangat dipengaruhi oleh dan menjadi dependent variable atas politik, dan ketiga, politik dan hukum terjalin dalam hubungan yang interdependent atau saling tergantung satu dengan lainnya. Preposisi ketiga ini dalam adigium hukum disebutkan; “politik tanpa hukum menimbulkan kesewenang-wenangan (anarkis), hukum tanpa politik akan menjadi lumpuh. Pertanyaannya adalah, ke arah manakah konsekuensi fatwa ini digiring

Yang menjadi pertanyaan penutup dari artikel ini adalah terkait dengan posisi MUI sendiri. Di manakah posisi organisasi Ulama’ ini?. Organisasi independenkah? ataukah organisasi yang dibiayai dan atas nama saja?. Pertanyaan ini penting, karena menjadi landasan ontologis dan pisau analisis wacana. Analisis frame akan tetap ’mencurigai’ keberpihakan pembawa pesan –baca mesin produksi fatwa- dan mempertanyakan tingkat sterilitas pembawannya. Dalam bahasa filsafat dikenal ”there is power behind teks” selalu ada tendensi atas segalanya. Demikian, Salam.

Mustatho’. * Koordinator MataPena Cendekia
Sekolah Tinggi Agama Islam Sengata (STAIS) Kutai Timur
Telp. 081254447281
Email. tatok.m@gmail.com
Blog. www.mustathok.blogspot.com

Labels:

Wednesday, July 15, 2009

Olah Pikir, Rasa dan Hayal